SURINAME BANYAK ORANG JAWA
Republik Suriname (Surinam),
dulu bernama Guyana Belanda atau Guiana Belanda adalah
sebuah negara di Amerika Selatandan
merupakan bekas jajahan Belanda. Negara ini
berbatasan dengan Guyana Perancis di
timur dan Guyana di barat. Di selatan berbatasan dengan Brasil dan di utara dengan Samudra
Atlantik.
Di Suriname
tinggal sekitar 75.000 orang Jawa dan dibawa ke sana dari Hindia-Belanda antara tahun 1890-1939. Suriname
merupakan salah satu anggota Organisasi Konferensi Islam.
Wilayah
Suriname mulai dikenal luas sejak abad ke-15, yaitu ketika bangsa-bangsa imperialis
Eropa berlomba menguasai Guyana, suatu dataran luas yang terletak di
antara Samudera Atlantik, Sungai Amazon, Rio Negro, Sungai Cassiquiare dan Sungai Orinoco. Semula dataran ini oleh para ahli kartografi diberi nama
Guyana Karibania (Guyana yang berarti dataran luas yang dialiri oleh banyak
sungai dan Karibania dari kata Caribs yaitu nama penduduk asli yang pertama
kali mendiami dataran tersebut).
Dalam suatu cerita fiktif "El Dorado", Guyana digambarkan sebagai
suatu wilayah yang kaya akan kandungan emas.
Para ahli sejarahmemperkirakan bahwa cerita fiktif tersebut
merupakan salah satu faktor yang mendorong orang-orang Eropa untuk
bersaing menguasai Guyana.
Pada tahun 1449 pelaut Spanyol, Alonzo de
Ojeda dan Juan de la
Cosa berlayar menyusuri pantai timur laut Amerika Selatan, yang saat itu mereka sebut
Wild Coast, dan mendarat di wilayah Guyana. Vincent Juan Pinzon kemudian menguasai
Guyana atas namaRaja Spanyol. Selama abad ke-16 dan
ke-17, Guyana dikuasai silih berganti oleh Spanyol, Belanda, Inggris, Perancis dan Portugal.
Pada tahun 1530 Belanda
mendirikan pusat perdagangan pertama di dataran tersebut. Pada tahun 1593 raja
Spanyol mengambil alih dan menguasai Guyana hingga tahun 1595, yaitu ketika
para bangsawan Inggris datang dan mulai mengusai daerah-daerah pantai. Sementara itu, Belanda mulai
mengembangkan perdagangannya secara bertahap di daerah pedalaman. Daerah Guyana
sepenuhnya jatuh ke tangan Inggris sejak tahun 1630 hingga tahun 1639.
Pada tahun yang
sama Belanda berhasil menguasai kembali sebagian besar Guyana sedangkan
Perancis menguasai daerah-daerah di samping sungai Suriname. Akibat dari
persaingan tersebut, wilayah Guyana saat ini terbagi menjadi lima bagian yaitu Guyana Espanola (bagian
dari Venezuela sekarang); Inglesa (Guyana sekarang);
Holandesa (Suriname); Francesa (Cayenne) dan Portuguesa (bagian dari wilayah Brasil). Suriname terletak di bagian tengah
dari wilayah Guyana yang telah terbagi-bagi tersebut, terbentang antara dua
derajat hingga enam derajat Lintang
Utara, dan antara 54 derajat hingga 58 derajat Bujur Barat dengan luas wilayah kurang lebih
163.265 kilometer persegi. Batas bagian timur wilayah Suriname adalah Sungai Marowijne yang memisahkan Suriname dengan
Cayenne; di bagian selatan terdapat deretan pegunungan Acarai dan Toemoe hoemak yang memisahkan
Suriname dengan wilayah Brasil. Di bagian barat berbatasan dengan wilayah Guyana yang
ditandai oleh aliran Sungai Corantijne, sementara di bagian utara dibatasi oleh garis pantai Samudera
Atlantik.
Pada tahun 1651 Suriname diserang oleh Inggris dan sejak saat itu, menjadi wilayah kekuasaan
Inggris hingga penandatanganan perjanjian perdamaian Breda tahun 1667. Berdasarkan perjanjian itu, Suriname
menjadi wilayah kekuasaan Belanda. Namun Inggris kembali memasuki Suriname pada
tahun 1781 hingga 1783 dan Suriname kemudian dijadikan daerah
protektorat Inggris dari tahun 1799 hingga 1802. Melalui perjanjian Amiens, 27 Maret
1802, Suriname, Barbice, Demerara dan Essquibo berada di bawah kekuasaan Belanda,
namun setahun kemudian Inggris kembali merebut wilayah-wilayah itu dan sejak
tahun 1804 Suriname menjadi koloni Inggris dengan sebutan the British
Interregnum.
Selama Suriname
berada di bawah kekuasaan Inggris, situasi ekonomi Suriname mengalami kemunduran. Penyebab
utama adalah pelarangan perdagangan budak, sementara kebun - kebun masih sangat
memerlukan tenaga buruh untuk dikelola. Selanjutnya melalui perjanjian London pada tanggal 13 Agustus 1814 dan diratifikasi dalam perjanjian Wina, Suriname dikembalikan lagi kepada
pihak Belanda. Pemerintahan Suriname dipimpin langsung oleh seorang gubernur dengan didampingi oleh sebuah dewan kepolisian yang bertugas sebagai penasihat
gubernur.
Dengan
dihapusnya perbudakan pada tanggal 1 Juli 1863, kehidupan ekonomi semakin tidak
menentu. Pada tahun 1870, pemerintah Belanda menandatangani
sebuah perjanjian dengan Inggris untuk mendatangkan imigran asing ke Suriname. Perjanjian ini diimplementasikan secara resmi pada tahun 1873 sampai 1917, di mana rombongan imigran Hindustan
pertama dari India didatangkan. Kedatangan rombongan
berikutnya adalah para imigran dari Jawa pada tahun 1890 - 1939.
Seiring dengan
ditempatkannya para imigran di sektor perkebunan, Suriname mengalami kemajuan
pula dalam beberapa bidang lainnya. Telekomunikasi, pembuatan jalan raya dan pembukaan jalur hubungan laut langsung
antara Suriname dan Belanda merupakan contoh.
Pecahnya Perang Dunia Pertama tidak
memengaruhi situasi ekonomi - politik Suriname. Pada tanggal 15 Desember 1954,
pemerintah Belanda bersama beberapa wakil dari Suriname menandatangani sebuah memorandum yang
isinya rencana pengakhiran penjajahan. Dalam sebuah Konferensi Meja
Bundar pada tahun 1961, para wakil Suriname yang dipimpin oleh Perdana Menteri Johan Adolf
Pengel menuntut dibentuknya sebuah pemerintahan sendiri. Tuntutan itu semakin
menjadi setelah didirikannya beberapa partai politikyang dibentuk pada dasawarsa itu, semakin gencar menyampaikan
tuntutan agar Suriname diberikan kebebasan penuh secepatnya.
Tuntutan ini
ditanggapi secara serius dengan diadakannya sebuah konferensi di Belanda pada
tahun 1970. Konferensi ini diadakan untuk
membicarakan persiapan pelepasan Suriname sekaligus menyusun kabinet yang
terdiri dari wakil-wakil partai. Suriname selanjutnya menjadi negara merdeka sejak tanggal 25 November 1975. Walaupun demikian, perekonomian
negara yang baru merdeka ini tetap sangat tergantung pada bantuan pembangunan
Belanda.
Pada tanggal 25 Februari 1980, lima tahun setelah kemerdekaannya,
Suriname diguncang oleh kudeta yang dilancarkan pihak militer yang dilakukan
oleh para Sersan yang dipimpin Sersan Mayor Desiree Delano Bouterse dan Sersan
Roy Dennis Horb. Peristiwa kudeta ini telah mengakibatkan jatuhnya Pemerintah
Demokrasi Parlementer pertama sejak kemerdekaan Suriname. Setelah Rezim Militer
Berkuasa , maka timbul gerakan -gerakan kontra -revolusi yag bertujuan untuk
mengembalikan demokrasi di Suriname dengan kudeta. tetapi beberapa usaha kudeta
itu gagal untuk menggulingkan rezim militer Bouterse. kudeta tersebut
antara : Kudeta oleh Sersan Fred Ormskerk pada 30 Maret 1980, kudeta oleh
Sersan Wilfred Hawker pada 15 March 1981. dan terakhir oleh Letnan Surendre
Rambocus dan Sersan Djiewansingh Sheombar yang dibantu kelompok sayap kanan,
kaum Buruh, dan politisi Hindustani & Jawa, tetapi kudeta inipun gagal.
Sebagai reaksi terhadap pemberontakan tersebut, pada tanggal 8 Desember 1982 pihak militer melakukan penembakan
terhadap 15 tokoh oposisi demonstran.Peristiwa ini telah mengakibatkan
dihentikannya bantuan pembangunan Belanda kepada Suriname, yang berdampak
semakin buruknya kondisi perekonomian Suriname. Namun hal ini tidak membuat
upaya menggulingkan rezim militer berhenti, justru ini memicu muncul perlawanan
yang lain dan kali datang dari Etnis Bushnegro dan Amerindian di Pedalaman
Suriname. mereka tampil sebagai penentang utama kekuasaan militer. Sekitar 35.000 penduduk Bushnegro dan 6500 Amerindian telah
menjadi pelaku utama pemberontakan terhadap penguasa militer.
Kelompok-kelompok militan dari kedua
golongan itu adalah kelompok Mandela (Bushnegro)
di bawah pimpinan mantan anggota militer Ronny
Brunswijk dan kelompok Tukayana
Amazones (Amerindian)
dibawah pimpinan Alex Jubitana dan Thomas Sabajo.
Puncak dari konflik bersenjata
tersebut terjadi pada tahun 1986, yaitu ketika Pihak Militer terpaksa harus
berhadapan dengan pemberontak Bushnegro yang telah bersatu dan menamakan
dirinya Jungle Commando.dan satu peleton Tentara yang gagl menangkap Ronnie Brunswijk
kemudian melakukan pembantaian terhadap 35 orang Bushnegro di Desa
Moiwana(Moiwana Massacre) Sementara itu, dalam tahun yang sama kelompok
Amerindian juga meningkatkan aksi pemberontakannya. Kemelut ini telah
mengakibatkan sekitar 7000 orang Bushnegro melarikan diri ke Cayenne (Guyana
Perancis) dan meminta suaka politik kepada pemerintah setempat.
Pemerintah militer diakhiri dengan
penyelenggaraan Pemilihan Umum pada bulan November 1987, yang telah
mengembalikan kekuasaan pemerintah kepada golongan sipil. Namun demikian,
pemerintahan hasil pemilu ini tidak berjalan lama. Pada bulan Desember 1990,
pihak militer kembali melancarkan kudeta tidak berdarah yang dikenal dengan
sebutan Kudeta Telepon. Akibatnya pemerintah yang demokratis kembali lumpuh. Pihak
militer kemudian membentuk Pemerintah Sementara yang salah satu tugasnya adalah
mempersiapkan Pemilihan Umum yang demokratis.
Pada bulan Mei 1991, Pemerintah
Sementara telah berhasil menyelesaikan tugasnya, yaitu dengan
diselenggarakannya Pemilihan Umum, namun hasilnya tidak sesuai dengan harapan
militer, karena kemenangan berada di tangan golongan sipil.
Pada bulan September tahun yang
sama, telah terbentuk pemerintah yang baru, dan Drs. R.R. Venetiaan terpilih
sebagai Presiden dan dengan demikian, maka berakhirlah kekuasaan militer.
Langkah terpenting yang segera
diupayakan oleh Pemerintah Venetiaan adalah melanjutkan usaha-usaha ke arah
perdamaian yang telah dirintis oleh pemerintah sipil sebelumnya. Hal ini
tentunya merupakan tugas berat bagi pemerintah yang baru terbentuk tersebut,
terutama karena kondisi ekonomi dan keuangan Suriname yang sangat
memprihatinkan, sebagai akibat dari kemelut politik yang berkepanjangan. Dalam
melaksanakan upaya perdamaian tersebut, Presiden R.R. Venetiaan telah membentuk
suatu Komisi Khusus yang bekerja sama dengan lembaga-lembaga dan
organisasi-organisasi terkait lainnya.
Dalam Pemilu bulan Mei 1996 koalisi
penguasa New Front (NF) dan Presiden Venetiaan mengalami kekalahan dan
pemerintahannya digantikan oleh calon dari oposisi Drs. Jules Wijdenbosch
Nationale Demokratische Partij (NDP) dan Radakishun Vooruitstrevende Hervorming
Partij (VHP), yang terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian pada pemilu yang
diselenggarakan pada tanggal 25 Mei 2000, kekuasaan berhasil diraih kembali
oleh kombinasi pengusa New Front yang terdiri dari parpol Nationale Partij
Suriname (NPS), VHP, Pertjajah Luhur dan Surinaamse Partij van de Arbeid (SPA).
Kemenangan New Front ini mengantarkan kembali R.R. Venetiaan (NPS) ke tampuk kursi
kepresidenan dan memimpin Suriname untuk masa 5 tahun (tahun 2000 - 2005).
Sebagai Wakil Presiden telah terpilih Jules Rattankoemar Ajodhia dari partai
VHP.